KERETEG


Oleh : Yayan Henri Danisukmara

Kereteg, saya mengenal kata itu sebagai jembatan. Saat kecil sering menginap dan berlibur di rumah nenek, saat masih usia sekolah dasar. Tahun awal 80an sekitar kelas 3 atau kelas 4 umur 9 atau 10 tahun.

Jalan desa belum beraspal, tetapi sudah perkerasan batu. Tidak ada angkutan khusus ke desa tersebut. Jika pun ada kami menyebutnya mobil kol, mungkin karena merk mitsubishi itu sebagai varian Colt. 

Jika pagi ketika mobil itu melewati jembatan, maka akan bunyi dan terdengar getarannya. Jembatan itu sebagai landasanya terdiri dari rangkaian papan, yang klam di bagian sisinya sudah longgar, sehingga kalau terlindas akan bergetar dan bunyinya terdengar di tempat kami. Padahal jembatan itu berada di batas desa sebelah, mungkin jarak sekitar 700 meter.

Ketika terdengar kereteg itu berbunyi, maka anak anak akan berteriak dan berlarian kearah akan datangnya mobil. "Mobil datang... mobil datang" demikian teriakan berulang ulang. Mobil merupakan barang yang langka bagi mereka, sehingga jika mobil tersebut berhenti mereka tidak segan untuk mengelus dan memegang sana sini.

Jadi kereteg itu jembatan, pikirku saat itu. Kereteg itu pula sebagai penanda bagi orang orang yang akan pergi ke arah mota untuk bersiap siap. Seolah sirene dan ketika berbunyi, maka orang orang pun segera mendekat ke sisi jalan. Simponi yang indah, antar tetangga saling bersahutan, berkomunikasi tanpa batas pagar dan batasan verbal.

Komunikasi mengalir seolah antara adik kakak, atau antar orang tua anak. Teriak tanya mau kemana, lama atau tidak, titip beli sesuatu tanpa harus terima uang terlebih dahulu. Mereka yang bisa berangkat ke kota seolah terkesan hebat. Rek mangkat ka panyabaan, mereka punya istilah.

Kereteg, saat dewasa mengartikan lain. Kereteg adalah getaran. Kereteg hate. Getar hati, baik mengenai rasa suka atau pun rasa cemas. Seperti bisikan kata hati, suka akan seseorang. Atau bisikan untuk membatalkan keberangkatan.

Kereteg, jembatan, getaran hati yang menyambungkan dari dua sisi yang berbeda. 

Kini kereteg yang dimaksud jembatan di batas desa nenekku telah berubah dan berpondasi beton. Kini tidak ada lagi simponi, getaran sebagai sirene untuk memberitahu agar siap siap. Kini tidak ada lagi teriakan antar tetangga yang saling sapa dari dapu ke dapur. Antara rumah sudah berpagar dan mungkin tidak peduli dengan keadaan rumah di sebelahnya.

Kereteg hati yang mungkin telah mati.

Dari batas desa nenekku, Sumbakeling dan Pancalang.

7 Mei 2025 

Komentar