PINANG YANG MALANG

Akulah yang menangis disaat orang-orang sedang bersuka ria, suka ria pesta kemerdekaan. Bukannya aku A nasionalis. Tapi aku sedang menjalankan pengorbanan berupa ibadahku terakhir sebagai batang Panjat Pinang. Saat sekarang jutaan kawanku se Indonesia tengah dipajang di tengah lapang, menjadi tontonan segenap warga dalam suka rianya. Semua berteriak suka ceria ... Merdeeekaaa.
Seminggu kemudian aku menjadi batang yang ditinggalkan. Tidak ada lagi yang peduli ditinggal dalam kesendirian. Padahal saat menjelang tujuh belasan, berlomba orang mendapatkan batangku. Mereka rela menukar tubuhku hingga empat ratus ribu rupiah. Harga ku semakin mahal karena banyaknya permintaan, sementara untuk mendapatkanku kian sulit. Semakin tahun gegap gempita pesta raya merdeka selalu semarak, tetapi semakin tahun kawan-kawanku semakin langka. Berapa tahun lagi Pesta merdeka bangsa ini masih ada dengan kehadiran tubuhku si pohon Pinang?
Entah siapa yang memulai keriaan dengan acara panjat pinang, yang pasti acara itu telah menjadi bagian terseru di pesta Merdeka. Aku juga bahagia pada mulanya, menjadi bagian dari keceriaan bangsa yang merdeka, bangsa yang besar yang tengah menghargai para pahlawannya. Tapi sekarang kegundahanku muncul, saat kawan-kawanku tidak lagi banyak berkelompok. Hilang satu persatu ditelan jaman, tanpa ada manusia yang mengingatnya.

Padahal ceritaku tidak seputar pesta merdeka saja, saat dulu dimana aku selalu dicari untuk menemani para orang tua Nyisig. Ya .. betul nginang sebagai keharusan bagi sebagian orang tua tempo doeloe. Malah bukan sembarang orang yang boleh punya acara itu, konon hanya para priyayi yang boleh melakukannya. Aku tidak feodal, hanya manusianya saja yang membuatnya begitu. Juga aku menjadi bagian tak terpisahkan dari rangkaian upacara nyeureuh yang memiliki fungsi sosial budaya adat, seperti : silaturahmi, penyambutan tamu, meminang, perkawinan, bahkan acara kelahiran. Demikian banyak kegunaan dari bagianku, bunganya yang disebut dengan mayang, diperlukan orang saat pesta tujuh bulannya. Buahnya menjadi bagian dari nginang. Fungsi kesehatan aku juga miliki, seperti : menguatkan gigi, desinfektan bagi penyakit mulut dan perbaikan pencernaan. Dan akhirnya tubuhku di jadikan permainan pesta tujuh belasan.

Aku ingin tetap menjadi bagian pesta rakyat di saat hari kemerdekaan, juga menjadi teman di berbagai upacara adat. Tapi musti diingat bahwa aku juga mesti beranak pinak. Bijiku sebagai bagian dari aku memperbanyak diri, kini lebih banyak dijual ke pabrik untuk keperluan jamu atau kosmetik. Padahal itupun sudah sangat sulit mendapatkannya. Belum jadi buah pun baru berupa mayang, bungaku sudah diambil untuk keperluan pesta adat. Kapan kesempatanku berbiak, saat tubuhku dewasa, aku sudah harus berbakti sebagai bagian dari acara panjat pinang.

Aku tidak sulit tumbuh, tidak rewel dan manja di mana pun. Nama botaniku Areca Pinanga mudah di temui sebagai bangsa dari palem-paleman. Ada tersebar di seluruh nusantara, para ahli pun menganggap aku sebagai asli Indonesia, tetapi sebagian ada yang percaya aku dari India. Tidak masalah bagi aku, dimana aku telah berada dan dikenal di Indonesia sejak sebelum abad 12, dan aku betah menjadi bagian dari bangsa Indonesia. Jangan biarkan aku punah.

Ada beberapa hal yang dapat aku sampaikan agar aku tetap menjadi bagian Pesta Merdeka :

Pertama : Budayakan Tanam Aku Pinang.
Dengan mudahnya aku tumbuh sebenarnya harus memacu untuk menanamku. Tapi karena tidak ada yang peduli, hal tersebut menjadi sulit. Bagaimana kalau setiap desa menggalakan penanaman aku di setiap batas desa masing-masing. Jadi lima tahun mendatang mereka tidak akan sulit lagi mencariku. Tanamlah aku sebagai tanda batas di sepanjang perbatasan, menjadi pagar yang akan menjaga masing-masing wilayah dari sengketa seperti yang terjadi di Nusa Tenggara. Juga bagi para pemilik kebun, tanamilah di masing masing batasnya dengan aku pinang.

Kedua : Kepedulian Pemerintah.
Aku tidak tahu, dinas mana yang harus mengurusiku. Kebanyakan dinas, saling tumpang tindih tidak mengerti akan pekerjaannya. Kepada Kepala Daerah tolonglah, areal-areal yang disebutkan sebagai lahan kritis sebagiannya tanami dengan aku Pinang. Daripada lahan tersebut kerontang, biarkan aku yang menjagainya. Kelak, buahnya dapat menjadi komoditi ekonomi masyarakat sekitar yang dapat memanennya untuk di jual sebagai bahan kosmetik. Gunakan semangat dan momen kemerdekaan ini untuk memerdekakan aku dari ketidak berdayaan.

Ketiga : Pengawasan Penebangan.
Saat Pesta raya merdeka seperti saat ini, hendaknya ada semacam pengawasan dari pemerintah daerah mulai dari tingkat RT kelurahan/desa yang paling bawah. Proses ijin penebangan harus ditertibkan, bukan untuk mempersulit tetapi untuk menjaga kelangsungan aku. Jika Aku hanya sebatang kara di sana, maka jangan ijinkan penebangan dilakukan. Tetapi kalau aku ada dalam kelompok lebih dari lima pohon maka bolehkan aku ditebang hingga dua batang. Sisihkan hasil penjualan dariku untuk kembali membibitkan aku.
Memang memerlukan kedisiplinan dan komitmen, tetapi itu lebih baik daripada lima tahun mendatang, anak kita akan bertanya “pak panjat pinang itu apa sih... kok sekarang ga ada...” Oh iya sekarang kita acaranya panjat tiang listrik...?? Merdekaaa.....

Tulisan ini telah dimuat di Harian Pikiran Rakyat

Komentar