Namaku Lantis



Namaku Lantis!
Oleh YAYAN HENRI DANISUKMARA

PERKENALKAN namaku Lantis, alias lahan kritis. Sekarang aku sedang banyak digunjingkan orang, khususnya di Jabar. Namaku tengah naik daun. Aku jadi bahan pembicaraan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Perlu aku jelaskan, sebenarnya aku terlahir dengan nama Lanhij alias lahan hijau. Demikian dulu aku terlahir dari ibu (Sang Air) dan bapak (Sang Hutan) memberi nama saat kelahiranku tiba. Karena banyak manusia yang usil atas kecantikanku maka aku "disulap" menjadi Lantis.
Aku sekarang merana. Sebenarnya tidak demikian kehendakku. Aku selalu bekerja dengan sekuat tenaga demi kepuasan manusia. Tapi, kebanyakan manusia tidak memberikan kesempatan kepadaku untuk istirahat dan memenuhi kebutuhan "biologisku". Aku selalu dipaksa dijemur di matahari siang dan dibiarkan kehujanan tanpa diselimuti. Kalau aku menggigil kedinginan dan kugerakkan badanku, lantas manusia menudingku sebagai bencana longsor.

Kalau sudah demikian aku ikut sedih, ibuku Sang Air dan bapakku Sang Hutan hanya dapat memandang sendu di kejauhan. Tidak banyak yang kuinginkan sebenarnya, aku harus berbaju dengan pohon supaya mereka dapat memelukku. Aku harus berselimut perdu dan memberi kesempatan kasih sayang sang ibu menyerap dalam ragaku. Kelak air dan oksigen akan kukeluarkan sebagai rasa berbagi kasih dengan makhluk lain.
Manusia tidak pernah belajar dari kesejarahanku. Aku hanya dijadikan objek tanpa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat dan keinginanku. Padahal, aku dengar manusia itu makhluk yang demokratis dan bijaksana. Wahai manusia, dengarkanlah sedikit curhatku!
Pertama, jangan biarkan aku telanjang. Seperti engkau tahu bahwa sebelumnya ragaku rimbun dengan berbagai pepohonan, jiwaku penuh dengan kebahagiaan dan riang tawa aneka satwa. Demikian juga Tuhan memberikan kesempatan padaku untuk selalu bertasbih pada-Nya. Tasbihku adalah dengan memberikan kebaikan untuk semua.
Hingga pada masanya, datang keserakahan nafsu manusia untuk "memperkosaku" hanya demi kepuasan sesaat mereka dan segelintir dari mereka. Aku dipeloroti, aku ditelanjangi, mereka menghabiskan semua pakaianku tanpa sisa. Terkadang mereka membakar sisa pakaian yang masih menempel di tubuh. Mere-ka paksakan aku bertelanjang dada. Mereka tidak pikirkan kalau aku menggigil kedinginan karena guyuran air dan kemiringan posisiku berdiri di lereng. Ah..., manusia andai saja engkau mengerti sesungguhnya aku pun enggan memberikan bencana bagi kalian.
Kedua, makmurkanlah aku. Kini aku mendengar, manusia sudah menyadari kekeliruannya, mereka telah mencanangkan untuk memberiku baju lagi. Mereka menamakan "Gerakan Rehabilitasi Lahan Kritis" untuk menyembuhkan dan memanjakanku. Aku senang mendengarnya, Aku telah bersiap untuk menyambutnya.
Lebih setahun gerakan itu telah berjalan namun belum terasa ada baju menempel di tubuhku ini. Aduh manusia kenapa lagi dengan dirimu. Engkau telah kembali kepada kelakuanmu semula... serakah!
Aku mendengar bahwa jatah bajuku telah tercecer di mana mana... di instansi, oknum pegawai, pengusaha, hingga para pensiunan dan kalangan hijau pun berebut untuk urusan projek bajuku. Bibit yang seharusnya tertanam di badanku, entah mengapa tidak sampai. Kalaupun ada baju yang sampai, tidak memberikan kehangatan karena tidak cocok. Memakaikan dengan sembarangan dan tidak sesuai musim hingga tidak adanya pemeliharaan bagiku, bajuku habis digerogoti ilalang dan semak belukar. Oh... aku ini sakit!.
Ketiga, jagakanlah aku. Tasbihku kepada Yang Maha Pencipta adalah memberi dan memberi. Karenanya Aku tidak sanggup menolak pada siapapun yang datang. Apabila manusia datang dengan cinta dan pengetahuannya, aku senang. Aku akan memberikan segalanya untuk manusia. Tetapi jika yang datang padaku adalah manusia yang berpikiran sempit, memikirkan kesenangan sesaat, juga tidak menjaga hak-hak kehidupan generasi setelah mereka, aku menjadi sedih.
Aku selalu baik pada siapapun yang datang tetapi janganlah engkau kurangkan nilai ibadahku kepada Yang Maha Pencipta karena serakahmu wahai manusia.
Aku juga merasakan keluhan para petani yang membajuiku dalam kegiatan GRLK. Mereka bekerja atas dasar upah, mereka tidak menanamiku dengan hati dan perasaan, mereka hanya mengingat demi uang semata. Akhirnya, banyak baju yang mati. Ruh dan jiwa mereka menghilang karena mengejar besarnya uang. Padahal tatkala mereka bekerja dengan hati dan segenap jiwa, baju-baju bisa tumbuh.
Menjagaku tidak perlu dengan kekerasan tetapi melalui perenungan dan pendekatan. Selama GRLK adalah projek, selama itu pula penanganan akan menitiskan ketidakberesan. Seperti menu instan dalam keseharian makanan kita, cepat saji, cepat kenyang, dan cepat pula lupa bagaimana rasanya. ***
Penulis, Manusia yang mencoba Perduli dengan Lingkungan

Nah ini tulisan dimuat Pikiran Rakyat Jumat, 22 Juli 2005

Komentar