Kangen Sayur Asem

Makan apa kita siang ini, hmmm ini sementara jadi pertanyaan penting. Dua hari sudah ada di Jayapura, atau mungkin karena fokus pekerjaan dan tidak sempat jalan jalan. Ya saya mesti hati hati karena bisa jadi kita masuk ke zona terlarang dalam hal makanan. Jadi saat begini kangen bertemu dengan perempuan berhijab, setidak itu menjadi tanda saya untuk bertanya lagi welcome tuk kami atau tidak. Menu netral, ayam, ikan, telur itu jadi pilihan utama. Saya gunakan kecanggihan pesan antar, go food. Ternyata tidak banyak pilihan. Yang membuat kaget menu mujair bakar itu Rp. 100.000 untuk satu porsinya.... aje gile salah tulis atau benar tidaknya saya ga minat tuk konfirmasi, yang pasti tertulis di sana.. positifnya peluang usaha bagi mereka tuk ternak mujair atau nila tersebut.
Belum ketemu rumah makan khas Sunda, mungkin karena tidak banyak komunitas suku yang dikenal penyuka daun daunan alias lalab dan kerupuk. Kalo ada sepertinya akan menjadi pilihan dan sayur asem akan selalu dipesan, lupakan asam urat dulu. Karena yang penting bisa mengisi kampung tengah tanpa rasa protes. Jayapura itu mungkin sebesar kota Cirebon. Kalo melihat statistik penduduknya ada sekitar 1 juta jiwa. Mall terbesar  yaitu mall Jayapura saya pun hanya melintas di depannya. Mungkin malam minggu bisa menjajaginya, apa yang akan dicari ya pasti semua standar seperti yang kita temui.

Seharian di sekretariat Bidang Akomodasi Panitia setempat, konfirmasi penempatan untuk akomodasi kontingen Jabar. Beberapa kali gagal menemukan sekretariat dimaksud, ke tempat panitia Besar (PB), ternyata di sana sepi. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 9 lebih, dan di arahkan tuk langsung ke bidang. Mendatangi alamat yang dimaksud, ternyata sepi padahal ditemukan mobil dan motor terparkir di halaman. Ketemu orang ketika ditanyakan, disampaikan mungkin di kantor sebelah... pindah ke sebelah pintu terkunci dan tetap tidak ada orang. Dan ternyata benar dugaan saya, ini masih pagi dan katanya sebagian ada yang pergi ibadat. Akhirnya kami cari tempat untuk ngopi dan mencari informasi kembali?, ya nongkrong di JCo. Jaminan standar yang membuat hati lebih tenang.

Setelah mendapat kabar orang yang dituju dan kita minta ketemu, supaya tidak nyasar akhirnya kita minta share lokasi alamat yang  akan dituju. Kembali ke standar, ga pakai debat mbah gogel dengan map nya. Setelah mengikuti liku liku yang diarahkan tidak ada tanda tanda. Pakai jurus tanya langsung on the spot, ada orang kita tanya dan sebutkan alamat yang dituju dia jawab tidak tahu. Terima kasih. Maju ke depan lagi, itu mungkin yang ada mobil ber nopol merah. Kita tanya ulang, dan kaget kalo dia bilang salah mas itu bukan alamat yang dituju. Heran campur aduk, setelah jauh dari orang yang ditanya. Kita cercar yang navigator pegang map, masa salah mbah gogel. Diputuskan tanya kembali ke orang yang mau dituju, kok tidak ada alamat yang dimaksud. Akhirnya dia kirim sharelok baru dan memang jauh beda. Kenapa tadi terima sharelok pertama kok meleset. Ohhh mungkin saat ditanya  dan diminta share lok pertama, orang tersebut sedang di luar... Sabar dan ga usah dibahas.

Panitia sedang stress berat, dengan dialek khas papua keadaan kantor seperti sedang ada pertengkaran. Dan akhirnya kami ditemui, saya kenal dengan yang menemui ternyata dia dari pusat, saya pernah bersamanya saat Bandung jadi tuan rumah dan kami bersama sama mencari hotel dan memverifikasinya. Pak Yasin, dia disabilitas pengguna kursi roda. Dia yang dipercaya untuk mengatakan hotel tersebut layak atau tidak aksesibilitasnya. Maksud baik dari pemerintah pusat menetapkan Papua sebagai tuan rumah adalah untuk mengangkat semangat pembangunan.
Dalam kenyataan sekarang, jumlah tamu yang akan datang lebih besar dari jumlah kamar yang tersedia. Itu menjadi kendala besar. Kenapa waktu PON tidak begitu muncul? PON tidak wajib menyediakan hotel, sehingga para kontingen bisa menyewa rumah rumah penduduk. Sedang untuk peparnas atlet mutlak harus ditempatkan di hotel yang aksesibilitasnya baik. Dan itu tidak mencukupi, ditambah lagi kepentingan dari pejabat pusat dan daerah yang sekarang antusias hadir dengan kesiapan para kepala daerah menyatakan siap hadir. Itu membuat panitia pusing tujuh keliling, kolaps... tetapi hajat harus terlaksana, sejumlah kompromi harus diterapkan. Berbagi ruang.

Pukul 16 lebih sore itu, keluar dari kantor.. kami membayangkan bagaimana kontingen lain. Kami yang berkordinasi lebih awal saja tidak dapat akses akomodasi semua walau harus bayar sendiri. Akan timbul kegaduhan saat kontingen mulai berdatangan, hmmmm. Ga tega terus membayangkannya. Sekarang pulang untuk makan siang dan makan malam yang disatukan.. karena tadi makan siang terlewatkan. Kalo saya pengen ikan bakar laut, dan ternyata teman setuju daripada ke solaria lagi, kali ini tidak standar.

Tempat terdekat yang direkomendasikan googel, ternyata dekat pelabuhan dan tempatnya lumayan asyik pinggir laut lihat pelabuhan dan kejauhan lihat gedung bertingkat jaya pura dan ternyata dekat juga dengan hotel kami. Terobati lelah dengan pemandangan dan menu yang tersedia, menu yang kami pilih, ikan trakulu bakar, udang tiger bakar, cumi asam padang, kepiting asam manis, cah kangkung bawang putih. Foto tersedia, sementara asam urat akan kambuh kalo tidak ikut makan...bismillah... oh yah saya bilang kalo yang dari laut mah semua halal walau ga disembelih dan memang di menu ada tulisan dijamin halal dan kita juga konfirmasi lagi... kami percaya walau yang mengiringi makan kami adalah alunan lagu rohani.... hhmmm mau apalagi. Lahaulawalakuata... akhirnya yang tersedia bersih juga
 
Jayapura, Sabtu, 30 Oktober 2021

Komentar

  1. Mantappp... dengan pengalaman pertama nginjak ke tanah papua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Indonesia begitu luas dengan berbagai keragaman budaya, alam dan kulinernya

      Hapus

Posting Komentar